Home » Uncategorized » Memahami Rasa

Memahami Rasa

Suatu hari, ada seorang pemuda bertanya kepada gurunya. Ia bertanya mengenai bagaimana caranya ia belajar mengetahui hakikat Taqwa. Bertahun-tahun ia belajar dan membaca mengenai Taqwa, tapi yang ia dapatkan hanyalah kesia-siaan. Ia kembali merasa kebingungan dan justru semakin ragu. Ia bertanya mengenai sikapnya. Apakah memang benar selama ini ia sudah mencapai predikat Taqwa?
Sang guru tak lantas memberikan jawaban. Dilihatnya seksama pemuda itu, ia kemudian mengajaknya berkeliling. Dibawanya pemuda itu ke kebun tak jauh dari tempat mereka sebelumnya berbicara. Sepanjang perjalanan, sang guru tetap saja diam. Dibiarkan saja pemuda itu mengikuti setiap langkahnya.

“Apa yang selama ini sudah kamu pahami mengenai Taqwa?”
“Taqwa itu berarti melakukan segala sesuatu sesuai seperti yang Allah perintahkan. Dan juga berusaha menghindari dan juga menjauhi apa saja yang dilarang.”
“Dan sudahkah kamu merasa bertaqwa? Dengan pemahaman yang kamu berikan sebelumnya?”
“Kadang.” Pemuda itu diam sejenak seakan-akan berusaha menjaga apa yang akan ia ucapkan setelahnya. “Jika memang pemahaman mengenai Taqwa yang saya utarakan sebelumnya sudah benar. Ketika saya sudah mengerjakan apa saja yang sudah Allah perintahkan bagi hambanya, saya saat itu sudah bertaqwa. Namun, jika memang ketika sekali waktu saya terjerumus dalam dosa karena lalai dan meninggalkan perintahnya untuk menjauhi hal-hal yang Allah larang, maka mungkin pada saat itu saya sudah kembali menjadi tidak bertaqwa.”
“Apakah taqwa memang seperti itu?”
“Saya tidak mengerti. Saya belum sepenuhnya memahami itu.”
Setelah beberapa saat berjalan bersama dengan pemuda itu. Sang guru kemudian menunjuk jalanan kecil yang akan mereka tempuh setelah ini. Di sepanjang mata mereka memandang, ada sekian semak belukar dan juga tumbuhan-tumbuhan berduri yang menghalangi mereka berjalanan.
“Silakan kamu berjalan terlebih dahulu ke tempat yang kini saya tunjukkan.” Sang guru pun memperlihatkan kepada pemuda itu saung tempat mereka akan berbincang.
Pemuda itu terlihat sedikit bingung dengan permintaan gurunya. Tapi, atas dasar rasa hormatnya dan keingin-tahuannya, akhirnya ia berjalan juga ke arah saung yang tadi gurunya minta. Ia berjalan dengan sangat hati-hati, ia berusaha menghindari duri-duri yang menghalangi perjalanannya. Kadang ia diam sejenak, sekedar memastikan apakah jalanan yang ia ambil sudah benar-benar bebas dari duri yang ia temukan di sepanjang jalan. Setelah ia yakin, ia berjalan dengan penuh kepastian. Begitu seterusnya hingga ia sampai di tempat yang gurunya minta.
Dan tanpa disangka sang guru ternyata sudah berada di sana. Menunggu kehadiran pemuda tadi.
“Mengapa menjadi begitu lama perjalananmu ke sini? Apa yang membuatmu tertahan?”
Pemuda itu kemudian menceritakan perjalanannya. “Saya tidak ingin terlalu terburu-buru, Guru. Karena saya yakin, jika saya berjalan tergesa-gesa, duri-duri yang saya temukan di sepanjang perjalanan tadi tentunya pasti sudah melukai kaki dan mungkin juga beberapa bagian tubuh saya. Saya rasa kehati-hatian adalah hal yang saya butuhkan di saat kondisinya seperti tadi.”
Sang guru tersenyum ketika mendengar jawaban pemuda itu.
“Benar. Kehati-hatian itu memang yang kamu butuhkan di saat kondisinya seperti itu. Begitu juga dengan pemahaman Taqwa yang selama ini kamu cari jawabannya.”
Pemuda itu terkejut mendengar jawaban Sang Guru. “Bagaimana mungkin seperti itu, Guru? Mengapa ‘kehati-hatian’ itu yang menjadi jawaban dari Taqwa yang selama ini saya cari?”
“Apakah kamu mau melukai diri kamu sendiri untuk mencapai apa yang kamu inginkan? Tanpa sekali pun menghiraukan duri-duri atau godaan-godaan yang siap dan menunggu kamu di sepanjang perjalanan?”
Pemuda itu terdiam. “Jika memang saya bisa menghindari bertemu dengan duri-duri itu tentu saya tidak akan terluka, Guru. Saya tentu akan sampai ke tempat yang saya tuju, tanpa harus merusak diri pribadi dulu. Saya pasti akan bisa mencapai apa yang saya inginkan tanpa harus mendapatkan kerugian karena terjerumus godaan-godaan yang ada di saat saya berusaha mengejar itu, Guru.”
“Begitu juga dengan Taqwa.”
“Bagaimana penjelasannya, Guru? Saya belum sepenuhnya mengerti.”
“Taqwa itu adalah puncak dari perjalanan ibadah kamu selama ini. Sudah bertaqwa seseorang ketika ia mampu berhati-hati dengan apa pun yang ia kerjakan. Kehati-hatian itu adalah inti dari taqwa. Seperti yang sudah kamu utarakan sebelumnya, jika memang kamu bisa menghindari bertemu dengan duri-duri itu, tentu kamu tidak akan terluka. Jika kamu melakukan perintah dariNya dan akhirnya bertemu dengan hal-hal yang bisa menggagalkan perjalananmu, tentu kamu akan berhati-hati memutuskan langkah dan keputusan yang akan kamu ambil sebelumnya.”
Pemuda itu diam mendengarkan penjelasan dari Sang Guru dan berusaha memahami setiap jawabannya.
“Iman seseorang tentulah tidak akan selalu berada di atas. Kadang kala, iman itu naik dan turun, tergantung dengan apa yang kamu temukan di sepanjang perjalananmu. Keyakinanmu kadang bisa saja jauh lebih besar dari ragumu; tapi itu pun bisa berubah. Satu saat ragumu kadang menjadi jauh lebih besar dari yakinmu. Namun, ketika kamu paham dengan apa pun resikonya. Kamu akan berhati-hati. Tidak lantas memutuskan segala sesuatunya karena hawa nafsumu. Tidak lantas mengambil langkah karena berdasarkan egomu. Kamu akan berhati-hati.”

Leave a comment